Industri Tekstil Nasional Butuh Reformasi Kebijakan agar Tak Kalah dari Negara Tetangga
- Senin, 27 Oktober 2025
JAKARTA - Di tengah potensi besar yang dimiliki sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), industri ini justru masih terjebak dalam kebijakan yang tidak berpihak pada pelaku dalam negeri. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wiraswasta, menilai birokrasi yang pro impor menjadi penghambat utama berkembangnya industri TPT nasional.
“Hanya karena kebijakan yang dikendalikan oleh birokrasi dan oknum pejabat yang pro impor,” ujar Redma di Jakarta, Senin, 27 Oktober 2025.
Menurutnya, kondisi tersebut membuat potensi Indonesia untuk menjadi pusat inovasi global belum tergarap secara maksimal. Padahal, sektor ini memiliki sumber daya manusia (SDM) yang melimpah dan biaya energi yang relatif kompetitif dibanding negara lain.
Baca JugaPLTS Irigasi PT Bukit Asam Tingkatkan Produktivitas Petani Sumatera Selatan
Redma menambahkan, bahan baku utama seperti polyester dan rayon juga sudah tersedia di dalam negeri. Jika dimanfaatkan dengan optimal, Indonesia seharusnya mampu bersaing secara efisien di pasar internasional.
Dari sisi efisiensi biaya, Redma menilai industri tekstil Indonesia masih memiliki daya saing yang cukup kuat terhadap Vietnam. Namun, ia mengakui posisi Indonesia masih tertinggal dari Bangladesh dalam hal inovasi dan integrasi industri.
“Namun kalau dengan Bangladesh kita masih kalah, hanya masih kompetitif jika kita memaksimalkan daya dukung ekosistem dari hulu ke hilir yang terintegrasi,” jelasnya.
Tekanan Impor Selama 15 Tahun Rugikan Pelaku Dalam Negeri
Redma menyoroti bahwa tekanan dari masuknya produk impor selama lebih dari 15 tahun terakhir telah membuat industri TPT kehilangan ruang untuk tumbuh dan berinovasi. Banyak pelaku usaha lokal yang terpaksa menurunkan kapasitas produksi akibat gempuran barang impor dengan harga dumping.
Akibatnya, perkembangan teknologi dan produk baru di sektor TPT menjadi lamban. Indonesia pun tertinggal dari negara pesaing seperti Vietnam yang lebih cepat mengadaptasi modernisasi industri tekstil.
Menurut Redma, langkah paling mendesak yang harus diambil adalah mengamankan pasar domestik terlebih dahulu. Perlindungan ini diperlukan untuk memulihkan kondisi industri sebelum mendorong ekspansi ke pasar ekspor.
Ia menegaskan, sistem dari hulu ke hilir harus diperkuat agar rantai pasok berjalan efisien dan tidak lagi terganggu oleh praktik impor ilegal. “Hal itu penting agar industri bisa pulih sambil memperbaiki rantai pasok yang terganggu oleh praktik impor dumping dan impor ilegal,” ujarnya.
Jika stabilitas industri dalam negeri dapat dipulihkan, pelaku usaha akan lebih siap untuk melakukan inovasi. Dengan begitu, Indonesia bisa kembali menjadi pemain kuat dalam rantai pasok global industri tekstil.
Redma juga mengingatkan, tanpa perlindungan yang jelas, para pelaku usaha akan terus menghadapi persaingan tidak sehat yang pada akhirnya merugikan tenaga kerja lokal. Hal itu bisa berdampak luas terhadap perekonomian nasional yang sebagian masih bergantung pada sektor padat karya seperti tekstil.
Pemerintah Ingin Jadikan Indonesia Pusat Inovasi TPT Dunia
Sementara itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan pandangan optimistis terhadap masa depan industri TPT Indonesia. Ia menegaskan bahwa sektor ini tidak lagi termasuk dalam kategori sunset industry, melainkan memiliki peluang besar untuk berkembang sebagai sektor strategis nasional.
Agus mengungkapkan, selama tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, industri TPT tumbuh sebesar 5,39 persen. Pertumbuhan tersebut memberikan kontribusi sebesar 0,98 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional.
Kinerja tersebut menunjukkan bahwa industri TPT masih menjadi salah satu sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dan menopang ekspor nonmigas Indonesia. “Kementerian Perindustrian berupaya menjaga momentum pertumbuhan ini dengan menerapkan beberapa kebijakan kunci yang disusun untuk memperkuat daya saing, menumbuhkan investasi, dan mengakselerasi transformasi industri TPT,” kata Agus.
Pemerintah, kata Agus, terus mendorong peningkatan nilai tambah melalui inovasi produk dan penerapan teknologi ramah lingkungan. Langkah ini diharapkan mampu mengembalikan posisi Indonesia sebagai salah satu pusat produksi tekstil global.
Selain itu, strategi integrasi dari hulu ke hilir menjadi prioritas utama dalam mendorong kemandirian industri. Pemerintah ingin memastikan bahwa setiap tahap produksi, mulai dari bahan baku hingga produk jadi, dapat dilakukan di dalam negeri dengan efisiensi tinggi.
Agus juga menyoroti pentingnya investasi di bidang riset dan pengembangan untuk menciptakan produk tekstil bernilai tinggi. Dengan begitu, industri Indonesia tidak hanya menjadi produsen bahan mentah, tetapi juga pemain utama dalam produk jadi yang berorientasi ekspor.
Sinergi Pemerintah dan Pelaku Industri Jadi Kunci
Perbedaan pandangan antara pelaku industri dan pemerintah dinilai bisa menjadi peluang untuk memperkuat arah kebijakan yang lebih seimbang. Pelaku usaha menekankan perlindungan pasar domestik, sementara pemerintah berfokus pada peningkatan daya saing global.
Jika kedua pendekatan ini dapat dipadukan, industri TPT Indonesia berpeluang besar untuk bangkit dari tekanan impor dan menjadi pusat inovasi di kawasan Asia. Kolaborasi yang kuat akan mempercepat proses reformasi industri dan menciptakan ekosistem yang berkelanjutan.
Redma menegaskan, pemerintah perlu lebih tegas dalam menindak praktik impor ilegal dan memberikan insentif bagi industri lokal yang berinovasi. Tanpa dukungan nyata dari sisi kebijakan, transformasi industri akan sulit tercapai.
Sebaliknya, pemerintah juga menginginkan agar pelaku industri terus beradaptasi dengan perubahan global dan memperkuat daya saing melalui digitalisasi serta efisiensi produksi. Hanya dengan langkah simultan, industri tekstil Indonesia bisa mencapai keseimbangan antara perlindungan domestik dan ekspansi global.
Dengan komitmen bersama, sektor TPT Indonesia memiliki peluang besar untuk kembali menjadi kekuatan ekonomi nasional yang berdaya saing tinggi. Industri ini tidak hanya berpotensi menjadi penopang ekonomi, tetapi juga motor inovasi yang menembus pasar dunia.
Nathasya Zallianty
wartaenergi.com adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
BSU Rp600.000 Oktober 2025 Cair, Pemerintah Perkuat Daya Beli Pekerja Aktif
- Senin, 27 Oktober 2025
Iuran BPJS Kesehatan Akan Disesuaikan Secara Bertahap Mulai Tahun 2026
- Senin, 27 Oktober 2025
BLT Kesra Rp900.000 Oktober 2025 Belum Cair? Ini Penyebab dan Solusinya
- Senin, 27 Oktober 2025
Berita Lainnya
4 Pilihan Rumah Murah di Metro Lampung, Harga Terjangkau di Bawah Rp150 Juta
- Senin, 27 Oktober 2025
Perumahan Subsidi di Kanigoro Blitar, Pilihan Rumah Nyaman Mulai Rp150 Juta
- Senin, 27 Oktober 2025












